piccolopetesrestaurant.net, Kasada: Cerita Tua yang Masih Hidup di Lereng Gunung Bromo Di balik kabut tipis Gunung Bromo, ada suara hati yang terus bersenandung, di wariskan dari generasi ke generasi. Kasada bukan cuma sekadar ritual, melainkan denyut nadi yang menjaga hidupnya legenda di tanah berkabut ini. Walau zaman terus berlari kencang, Kasada tetap bertahan, menolak terkikis zaman. Yuk, kita berkelana dalam kisah yang tak lekang di makan waktu ini!
Awal Mula Kasada yang Sarat Janji
Membuka lembaran Kasada, kita seakan di panggil masuk ke lorong masa lalu. Dulu, jauh sebelum Bromo menjadi magnet wisata, pasangan suci Roro Anteng dan Joko Seger di sebut-sebut sebagai sosok awal penggerak ritual ini.
Mereka memohon berkah keturunan kepada Sang Hyang Widhi, dan sebagai gantinya, janji sakral di lontarkan. Salah satu anak mereka harus di persembahkan kepada kawah Bromo. Saat janji itu di tagih, muncul pergulatan batin yang mengguncang. Namun akhirnya, sang anak, Kesuma, rela mengorbankan di ri demi tegaknya kepercayaan. Sejak saat itu, Kasada menjadi upacara tahunan yang penuh makna.
Persembahan di Antara Awan dan Doa
Setiap tahun, saat malam mulai di gerogoti di ngin Bromo, warga Suku Tengger membawa hasil bumi menuju kawah. Tidak sembarangan, karena setiap butir hasil panen, ayam, bahkan sesajen lain di bungkus dalam doa dan pengharapan.
Menariknya, perjalanan ke kawah bukan sekadar ritual fisik. Ada perjalanan jiwa yang terjadi, di mana setiap orang seakan berhadapan dengan di rinya sendiri, menimbang ulang janji, harapan, dan rasa syukur. Tidak heran, setiap langkah mereka seolah punya bobot emosi yang lebih berat dari sekadar mendaki kawah.
Warna-Warni Emosi dalam Festival Kasada
Bromo saat Kasada berubah jadi lautan manusia yang penuh warna. Meski sebagian datang untuk menyaksikan, namun aura sakral tetap terasa menembus kerumunan. Bau dupa bercampur kabut tipis, dan suara gamelan bergaung seperti alunan doa kuno yang menggetarkan tulang belakang.
Di sela-sela keramaian, kamu bisa melihat anak-anak kecil berlarian, para tetua dengan sarung khas mereka, serta orang-orang yang bermata sayu penuh harap. Walaupun tampak ramai, namun ada semacam kesunyian batin yang menyelimuti. Seolah-olah, semua yang hadir sadar, bahwa yang mereka saksikan bukan pertunjukan biasa, melainkan sebuah kehidupan yang tengah di baktikan.
Keberanian Para Pengejar Sesajen
Ada satu bagian dari Kasada yang selalu membuat bulu kuduk berdiri: para pengejar sesajen. Mereka bukan penonton biasa, melainkan orang-orang yang berani berdiri di tepi kawah demi menangkap sesajen yang di lemparkan.
Bagi sebagian warga, sesajen ini bukan sekadar benda, tetapi berkah yang di percaya membawa rezeki. Walaupun bahaya selalu mengintai, semangat mereka seperti di tarik oleh janji tak kasatmata. Setiap lemparan sesajen di iringi teriakan semangat, seolah langit Bromo ikut bersorak bersama keberanian mereka.
Kesimpulan:
Kasada bukan hanya cerita tentang upacara, melainkan napas panjang yang menghubungkan masa lalu dengan hari ini. Di tengah arus modernitas, Kasada berdiri tegar, menolak menjadi sekadar cerita museum.
Lewat ritual ini, Suku Tengger membuktikan bahwa menjaga tradisi berarti menjaga jiwa yang membuat mereka tetap hidup sebagai satu kesatuan. Bagi siapa pun yang pernah merasakan magisnya malam Kasada, pasti setuju: ada sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar sesajen atau kawah ada cinta, keberanian, dan kesetiaan yang terus membara dari zaman ke zaman.